Toko Bunga Tebing Tinggi Florist-Papan Bunga-Karangan Bunga.
Kota tebing tinggi adalah salah satu kota di sumatera utara,Indonesia.
Menurut data badan informasi dan komunikasi sumatera utara,
kota tebing tinggi merupakan salah satu pemerintahan kota dari 33 kabupaten/kota
di sumatera utara berjarak sekitar 80 km dari kota medan ( ibukota provinsi sumatera utara )
serta terletak pada lintas utama sumatera yaitu
menghubungkan lintas timur dan lintas tengah sumatera
melalui lintas diagonal pada ruas jalan tebing tinggi,pematang siantar,parapat,balige,
dan siborong borong.
Tebing tinggi beriklim tropis dataran rendah.
Ketinggian 26-24 meter diatas permukaan laut dengan tpografi mendatar dan bergelombang.
Temperaur udara dikota ini cukup panas
yaitu berkisar 25-27 derajat celcius.
Sebagaimana kota di sumatera utara
curah hujan pertahun rata rata 1.776 mm/tahun
dengan kelembapan udara 80%-90%.
Di Tebing tinggi terdapat 4 sungai yang mengalir dari barat menuju timur.
Keempat sungai tersebut adalah
Sungai Padang
Sungai Bahilang
Sungai Kalembah
Sungai Sibaran.
Daerah Sekitar sungai padang dan bahilang merupakan wilayah potensi banjir
yaitu kelurahan bandar utama,persiakan,bandar sono,mandailing,bagelan,
rambung,tambangan,brohal dan rantau laban.
Walikota Tebing Tinggi Dari Masa ke Masa
Periode |
Nama Walikota |
Keterangan |
1946–1947 |
Munar S Hanijoyo |
|
1948–1950 |
Tengku Hasyim |
|
1950–1951 |
Tengku Alamsyah |
|
1951–1956 |
Wan Umaruddin Barus |
|
1956–1957 |
OK Anwaruddin |
|
1958–1967 |
Kantor Tarigan |
|
1967–1970 |
Syamsul Sulaiman |
|
1970–1974 |
Sanggup Ketaren |
|
1974–1980 |
Drs H Amiruddin Lubis |
|
1980–1985 |
Drs H Amiruddin Lubis |
|
1985–1990 |
Drs Rupai Perangin-angin |
|
1990–1995 |
Hj Rohani Darus Daniel SH |
Walikota Perempuan pertama di Indonesia |
1995–2000 |
Hj Rohani Darus Daniel SH |
Membawa Tebing Tinggi meraih Piala Adipura 3 kali |
2000–2005 |
Ir Abdul Hafiz Hasibuan |
H Amril Harahap sebagai wakil |
2005–2010 |
Ir H Abdul Hafiz Hasibuan |
H Syahril Hafzein (Wakil) - Pildaka langsung pertama rakyat Tebing Tinggi |
2010–2011 |
Drs H Eddy Syofian Purba MAP |
Penjabat Walikota |
2011-2011 |
Drs H Hadi Winarno, MM |
Plh Walikota pada saat pilkada ulang |
2011–2016 |
Ir H Umar Zunaidi Hasibuan |
Irham Taufik (Wakil) |
Kerajaan Padang
Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai
Padang
dan sungai Bahilang itu mulai dihuni sebagai tempat tinggal pada tahun
1864. Inilah pernyataan resmi pertama kali yang dibuat oleh sejumlah
tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini
terdapat dalam makalah berjudul “Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok
Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II
Tebing Tinggi.” Makalah ini kemudian dijadikan sebagai Perda yang
menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.
Dalam makalah itu dipaparkan bagaimana perkembangan daerah ini pasca
tahun 1864. Dimana dalam tahun-tahun itu, berdasarkan penuturan lisan
yang sambung menyambung, seorang bangsawan dari Wilayah Bandar
Simalungun ( sekarang masuk wilayah Pagurawan )bernama Datuk Bandar
Kajum bersama pengikut setianya menyusuri sungai Padang untuk mencari
hunian baru, hingga kemudian mereka mendarat dan bermukim di sekitar
aliran sungai besar itu. Pemukiman itu bernama Kampung Tanjung Marulak –
sekarang Kelurahan Tanjung Marulak, Kec.
Rambutan.
Namun kehidupan bangsawan dari Bandar ini tidaklah tenteram, karena
dia terus saja diburu oleh tentara kerajaan Raya. Maka, Datuk Bandar
kajum pun memindahkan pemukimannya ke suatu lokasi yang persis berada di
bibir sungai Padang. Pemukiman itu merupakan sebuah tebing yang tinggi.
Dia dan para pengikutnya mendirikan hunian di atas tebing yang tinggi
itu sembari memagarinya dengan kayu yang kokoh. Pemukiman Datuk Bandar
Kajum inilah yang sekarang berlokasi di Kelurahan Tebing Tinggi Lama,
Kec. Padang Hilir dan kini menjadi lokasi pemakaman keturunan Datuk
Bandar Kajum, kemudian yang diyakini sebagai cikal bakal nama Tebing
Tinggi.
Pada masa itu, tentara dari Kerajaan Raya suatu kali kembali
menyerang Kampung Tebing Tinggi untuk menangkap Datuk Bandar Kajum, tapi
karena tidak berada di tempat, Datuk Bandar Kajum yang bergelar Datuk
Punggawa ini selamat. Sedangkan keluarganya bersama pengikutnya
melarikan diri ke Perkebunan Rambutan yang saat itu di bawah kekuasaan
Kolonial Belanda. Lalu dibantu oleh Belanda, Datuk Bandar Kajum pun
mengadakan serangan balasan terhadap tentara Kerajaan Raya ini. Dalam
peperangan itu, dia, bersama pengikutnya berhasil mengalahkan penyerang.
Setelah suasana kembali aman, untuk tetap menjaga ketentraman daerah
itu, Datuk Bandar Kajum pun mengadakan perjanjian dengan Belanda. Oleh
Belanda daerah kekuasaan Datuk Bandar Kajum ini dilebur menjadi wilayah
taklukan Kerajaan Deli. Penanda tanganan perjanjian itu, terang kertas
kerja tersebut, dilakukan Datuk Bandar Kajum dan Belanda di sebuah
sampan bernama “Sagur” di sekitar muara sungai Bahilang.
Adalah Datuk Idris Hood bersama Adnan Ilyas, Drs. Mulia Sianipar,
Amirullah, Kasmiran, Djunjung Siregar, Mangara Sirait, Sjahnan dan OK
Siradjoel Abidin yang membuat kertas kerja itu dan berusaha menggali
historisitas berdirinya Kota Tebing Tinggi. Namun, sebagian besar tokoh
itu sudah wafat, sehingga kalangan generasi muda merasa kesulitan untuk
melacak akar historis daerah yang bergelar kota lemang itu. Salah satu
di antara tokoh itu yang masih hidup adalah Mangara Sirait, mantan
anggota DPRD Tebing Tinggi, yang kini bermukim di belakang LP Tebing
Tinggi.
Pertanyaan yang paling mendasar bagi kalangan generasi muda kota itu,
saat ini adalah, apa nama daerah hunian dan tempat tinggal di sepanjang
aliran sungai Padang dan sungai Bahilang itu sebelum nama ‘Tebing
Tinggi’ muncul dalam data sejarah?
“Daerah itu bernama Kerajaan Padang,” tegas Amiruddin Damanik, 91,
warga Desa Kuta Baru, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang
Bedagei, suatu kali ketika penulis berbincang-bincang dengan dia. Jauh
sebelum ada kampung Tebing Tinggi, ujarnya memulai cerita, sepanjang
aliran sungai Padang dari hulu hingga hilir, daerah itu merupakan
wilayah kekuasaan Kerajaan Padang.
Kerajaan ini dulunya merupakan daerah otonom di bawah Kerajaan Deli
yang berpusat di Deli Tua, kata Amiruddin Damanik yang merupakan mantan
penghulu pada masa penghujung berakhirnya kerajaan itu menjelang
kemerdekaan
Republik Indonesia.
Pusat kerajaan ini, lanjut dia, berada di Kampung Bandar Sakti—sekarang
Kelurahan Bandar Sakti, Kecamatan Rambutan—yang merupakan pelabuhan
sungai dan menjadi pusat perdagangan Kerajaan Padang dengan kerajaan
lain. “Waktu itu sungai merupakan sarana transportasi utama, jadi wajar
kalau ibu kota Kerajaan Padang berada di tepian sungai Padang,” terang
laki-laki yang terlihat masih memiliki ingatan kuat meski pisiknya sudah
sepuh.
Pusat administrasi Kerajaan Padang ini berada di sebuah bangunan
bergaya arsitektur Eropah yang saat ini menjadi markas Koramil 013, di
Jalan KF Tandean. Bangunan itulah yang jadi saksi bisu keberadaan
Kerajaan Padang, kata laki-laki yang memiliki sepuluh anak dan puluhan
cucu serta cicit ini. Sedangkan istana raja lokasinya tidak berapa jauh
dari pusat administrasi kerajaan. “Seingat saya, dulu istana itu masih
ada di belakang panglong, bersisian dengan Jalan Dr. Kumpulan Pane dan
masih terlihat dari persimpangan Jalan KF Tandean. Tapi sekarang entah
ada lagi entah tidak,” tutur Amiruddin Damanik, yang mengaku sudah
belasan tahun tidak ke kota (Tebing Tinggi).
Historis Kerajaan Padang ini, lanjut dia, bisa dilacak juga melalui
cerita lisan yang sambung menyambung, bermula dari memerintahnya seorang
penguasa bernama Raja Syah Bokar. Bersama raja ini ada juga beberapa
pembantu raja yang dikenal cukup berpengaruh masa itu, mereka adalah
Panglima Daud berkedudukan sebagai panglima perang dan Orang Kaya Bakir
sebagai bendahara kerajaan.
Di bawah pengaruh raja ini, Kerajaan Padang memiliki daerah yang luas
terdiri dari puluhan kampung dan dipimpin kepala kampung masing-masing.
Tiap-tiap kampung merupakan daerah otonom tapi tunduk pada kekuasaan
raja Kerajaan Padang. Di sebelah utara, Kerajaan Padang berbatasan
dengan perkebunan Rambutan yang dikuasai
Belanda.
Di sebelah selatan Kerajaan Padang memiliki kampung-kampung yang
menjadi batas wilayahnya dengan Kerajaan Raya, Simalungun. Kampung itu
adalah Huta Padang dan Bartong –saat ini berada di Kec.Sipispis,
Kabupaten Serdang Bedagei. Ke arah barat, kerajaan ini mencapai Kampung
Pertapaan –sekarang masuk Kec. Dolok Masihul, Sergai. Demikian pula ke
arah timur, kerajaan ini memiliki batas hingga ke Bandar
Khalifah—sekarang Kec. Bandar Khalifah, Sergai.
Kerajaan Padang masa itu dihuni penduduk dari multi etnis, baik etnis
lokal maupun dari mancanegara. Hingga kini bukti-bukti multi etnisitas
itu terlihat dari penamaan kampung-kampung yang ada di Kota Tebing
Tinggi., seperti,
Kampung Jawa, Kampung Begelen, Kampung Rao, Kampung
Mandailing, Kampung Tempel, Kampung
Batak
dan Kampung Keling. Penamaan kampung yang terakhir ini berlokasi di
pinggiran sungai Padang –saat ini terletak di Kelurahan Tanjung
Marulak—menginformasikan bahwa pada masa Kerajaan Padang wilayah itu
sudah di huni salah satu suku bangsa dari anak benua India. Bukti
arkeologis keberadaan etnis anak benua
India itu dengan pernah ditemukannya bangkai sebuah perahu bergaya
Hindu
mengendap dari kedalaman sungai Padang di Desa Kuta Baru sekira lima
tahun lalu. Namun sayang, bangkai kapal itu hancur karena tidak terawat.
Demikian pula dengan keberadaan etnis Tionghoa telah ada seiring
dengan perkembangan hubungan Kerajaan Padang dengan kerajaan lain. Etnis
Tionghoa kala itu, banyak menghuni pinggiran muara sungai Bahilang.
Kelompok mereka dipimpin seorang kapitan. “Hingga kini kalau saya tidak
salah kediaman kapitan
Cina iu masih ada di Jalan
Iskandar Muda berhadapan dengan bekas
bioskop Metro,” tegas orang tua yang enggan di panggil kakek itu.
Di samping kedua etnis ini, orang-orang Belanda juga belakangan
menghuni Kerajaan Padang . Ini dibuktikan dengan adanya perkuburan
mereka yang disebut Kerkof (kuburan) di Kampung Bagelen –sekarang di
Jalan Cemara.
Beberapa kampung yang spesifik dari kegiatan penduduk kala itu juga masih terabadikan hingga kini, misalnya
Kampung Bicara, Bandar Sono, Kampung Persiakan, Kampung
Durian, Kampung Jati, Kampung
Sawo, Kampung Kurnia, Kampung
Jeruk, Kampung
Semut, Kampung Tambangan, Kampung Sigiling dan Kampung Badak Bejuang serta beberapa kampung lainnya.
Batas Kerajaan Padang
“Sebelum sampai Sipispis, ada satu kampung bernama Bartong, itulah batas wilayah terjauh
Kerajaan Padang,” tegas tokoh sepuh itu yang pernah menjadi tahanan
politik di awal
Orde Baru. Batas itu diperoleh Kerajaan Padang setelah memenangkan pe perangan dengan Kerajaan Raya. “
Perang itu bernama perang Lopot-Lopot, artinya perang intip-mengintip,” jelas penutur ini.
Asal terjadinya
perang,
urai Amiruddin, bermula dari seringnya muncul gangguan yang
kadang-kadang berakhir dengan pembunuhan dari orang-orang Kerajaan Raya
terhadap kehidupan masyarakat di sekitar Kampung Bulian. Akibatnya,
karena ketakutan penduduk Kampung Bulian ini banyak yang mengungsi
hingga ke Bandar Sakti. Melihat keadaan ini, pasukan Kerajaan Padang
kemudian membuat sebuah jembatan di atas sungai Kelembah. Maksud
dibuatnya jembatan ini untuk mengontrol siapa saja orang-orang yang
keluar-masuk ke ibu kota kerajaan.
Ternyata, dibuatnya
jembatan itu membuat Kerajaan Raya tidak senang, sehingga mereka selalu saja mengganggu ketentraman
warga di Kerajaan Padang. Menghadapi keadaan tidak tentram itu,
Raja Syah Bokar kemudian memerintahkan
Panglima
Daud untuk mengusir para pengacau itu. Maka dalam pengusiran itulah,
Panglima Daud melakukan penaklukan terhadap beberapa kampung lainnya,
hingga kemudian panglima Kerajaan Padang ini menghentikan pengejaran di
Kampung Bartong. Lalu, kampung inilah yang dijadikan batas Kerajaan
Padang.
Usai peperangan, Kerajaan Padang harus menghadapi suatu masa
pancaroba dalam bentuk perebutan kekuasaan. Dalam suatu acara perburuan
di
Bandar Khalifah,
Raja Syah Bokar karena pengkhianatan panglimanya, mati terbunuh. Lalu,
sepeninggal sang raja, kekuasaan dikendalikan oleh OK Bakir.
Bendaharawan kerajaan ini menjalankan pemerintahan menunggu dua anak
Raja Syah Bokar yang bernama Tengku Alamsyah dan Tengku Hasyim
menamatkan sekolahnya di
Batavia.
Dalam catatan penutur, di saat jabatan di pangku OK Bakir inilah
Kerajaan Padang kemudian takluk di bawah Kerajaan Deli yang otomatis
menjadi taklukan
Kolonial Belanda.
Sebagai bukti ketundukan terhadap Kerajaan Deli, kerajaan induk ini
kemudian mengirim salah seorang petingginya menjadi pemangku raja di
Kerajaan Padang. Petinggi Kerajaan Deli itu bernama Tengku Jalal yang
kemudian menjabat sebagai raja menanti keturunan raja yang wafat pulang
dari tugas belajar.
Selesai menamatkan
sekolah,
kedua keturunan raja ini kemudian kembali ke Kerajaan Padang untuk
melanjutkan tampuk kekuasaan. Pemegang tampuk kekuasaan pertama jatuh ke
tangan anak tertua yakni Tengku Alamsyah. Baru kemudian diserahkan
kepada anak lainnya yakni Tengku Hasyim. Di tangan Tengku Hasyim ini,
gejolak menuntut kemerdekaan terhadap
Kolonial Belanda menggemuruh. Sehingga akhirnya seluruh wilayah Kerajaan
Padang melebur menjadi Tebing Tinggi dengan batas-batas yang ditentukan
administrasi Kolonial Belanda. Batas-batas inilah yang hingga kini menjadi patok administrasi
Kota Tebing Tinggi.
Akan halnya Datuk Bandar Kajum, berdasarkan pada penuturan historis
lebih awal ini, diperkirakan sebagai salah seorang pemuka masyarakat di
Kerajaan Padang. Dia, mendapatkan kehormatan dari penguasa Kerajaan
Padang dengan gelar Datuk Punggawa karena kesertaannya dalam perang
menghadapi Kerajaan Raya. Datuk Bandar Kajum pun kemudian diberikan
tanah dan wewenang untuk membangun pemukiman yang kemudian disebut
Kampung Tebing Tinggi.
Lalu, dari pelacakan akar historis Kota Tebing Tinggi pada masa lalu,
setidaknya harapan masyarakat Kota Tebing Tinggi untuk melakukan
pemekaran wilayah, sebenarnya memiliki momentum historisitas yang bisa
jadi memiliki validitas kuat. Jika menggunakan data sejarah di
atas—meski merupakan data lisan—sebenarnya wilayah Kota Tebing Tinggi
sekarang ini lebih kecil dari wilayah Kerajaan Padang yang berpusat di
kota itu. Ada puluhan desa dan kampung di hinterland yang dulunya
merupakan wilayah Kerajaan Padang.
Namun karena keberadaan wilayah Tebing Tinggi ini hanya didasarkan
pada data Kolonial Belanda, keadaannya menjadi riskan. Kota Tebing
Tinggi sebagai
ibu kota Kerajaan Padang
harus kehilangan puluhan kampung yang dulunya merupakan bagian dari
Kota Tebing Tinggi tempo doeloe itu. Sekali lagi hal ini membuktikan,
ternyata penjajahan Kolonial Belanda telah merugikan Tebing Tinggi dalam
soal administrasi kewilayahan. Sudah saatnya memang kita menagih
kembali daerah Tebing Tinggi yang hilang berdasarkan wilayah Kerajaan
Padang. Ayo bung, kita mekarkan Kota Tebing Tinggi berdasarkan data
historis itu.
Tempat wisata di Kota Tebing Tinggi belum banyak tergali. Sebagai
wilayah bekas Kerajaan Melayu Padang, hingga kini masih berdiri bangunan
bekas
Istana Kerajaan Padang di Jl. KF Tandean, Bulian. Istana ini masih bertahan walau bukan bahagian utuh lagi. Lokasi Istana yang menuju
Pantai Keladi
ini, sekarang diurus oleh waris kerajaan dari turunan Tengku Irwan
Hasyim(Tengku Irwan Hasyim adalah Putra dari Tengku Hasyim, beristrikan
Tengku Ina Nazli, walau beliau juga pernah beristrikan seorang
Swedia). Di sisi kiri Istana terdapat Kompleks
Pusara Bangsawan Padang.
Masih terdapat beberapa rumah melayu lama di beberapa tempat di Kota Tebing Tinggi, seperti di daerah Bulian Ujung; sebuah
Rumah berornamen melayu bekas kediaman Tengku Tokoh.
Di Jl. Syech Baringin, terdapat Makam Tuan Syech Baringin, seorang
Sufi yang disegani di
wilayah ini pada masanya. Di kompleks makam Sang Sufi masih berdiri Bekas rumah kediamannya yang mirip Rumah
Gadang Sumatera Barat. Sayang, Kondisinya sangat memprihatinkan
Di Tebing Tinggi ada beberapa sungai yang berpantai pasir. Walau
tanpa pengembangan lokasi-lokasi ini sering dijadikan tempat wisata
lokal bagi masyarakat tempatan.
Di wilayah Sungai Sigiling dan Batu Ampat, ada terdapat kolam
pemancingan dan kolam rekreasi yang dikelola atas swadaya masyarakat
sendiri.
Di kawasan Kota Bayu, lebih kurang 4 kilometer dari pusat Kota Tebing
Tinggi, sejak April 2012 terdapat kolam renang Bayu Lagoon. Menyediakan
fasilitas tiga kolam renang dimana salah satu kolam untuk anak-anak
dilengkapi dengan papan seluncur. Tempat rekreasi ini juga dilengkapi
musholla, lahan parkir, ATM, dan rumah makan.
Pada
Sabtu malam dan
Rabu malam, pemuda pemudi banyak juga menghabiskan paruh malam di sekitar
Lapangan Merdeka Jl. Sutomo yang dikenal dengan Lapangan
Sri Mersing.
Ada sebuah keunikan pada malam-malam
Hari Raya,
Budaya berkeliling kota dengan
beca bisa kita saksikan sebagai sebuah wisata muatan
lokal. Sebuah beca bisa berisi 8 hingga 10
penumpang.
Hutan
beca sepanjang malam hari raya mempunyai kekhasan tersendiri. Antara
penumpang beca satu dengan penumpang beca yang lain dibenarkan saling
berlempar-lemparan
air atau menembak dengan
pistol air; tidak ada kemarahan. Entah kapan budaya ini bermulai, tetapi kebiasaan ini berlangsung setiap tahunnya.